Wayan Suja mulai
berkenalan dengan seni rupa (lukis) ketika dia memasuki Sekolah Menengah Seni Rupa
SMSR tahun 1991, melalui bangku sekolah inilah dia mulai mengasah kemampuan skill rupanya dan berkenalan dengan
teknik melukis modern. Ketertarikannya pada seni rupa semakin tumbuh dan
menghantarkannya untuk memasuki pendidikan seni pada jenjang yang lebih tinggi,
setelah lulus dari sekolah menengah tahun 1995 Suja memutuskan untuk melanjutkan
studinya pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI/ISI) Denpasar. Membawanya mulai berkenalan dengan seni lukis abstrak yang saat itu merebak di Bali hasil temuan seniman-seniman Sanggar Dewata Indonesia (SDI).
Pada Institusi
ini Suja semakin ditempa daya kreativitasnya dan semakin dekat dengan kaidah-kaidah
seni modern, dan seiring dengan menguatnya
gaya abstrak-simbolik Bali, karya-karyanya hingga akhir 1990-an sangat
kuat menampilkan abstraksi. Pada tahun 1999 Suja beserta tiga kawan
seangkatannya membentuk kelompok Catur Muka, sebuah kelompok seniman muda yang
cukup terdepan kala itu dengan status masih sebagai mahasiswa mereka sudah
berpameran di galeri-galeri yang penting di Bali. Suja sendiri menjelang akhir
masa studinya sekitar awal tahun 2000-an sudah mulai diundang dalam pameran pada
galeri-galeri Jakarta. Tahun 2000 karyanya masuk dalam nominasi Phillip Morris
Art Award sebuah kompetisi yang cukup bergengsi untuk menapaki karir di seni
rupa bagi seniman muda kala itu.
Sedari awal
perkembangan karya-karyanya, Suja tidak sepenuhnya menyerap gaya seni abstrak
yang sedang berkembang di Bali, dia hanya mengambil efek ekspresif dari
lelehan, goresan kasar, tekstur, pada seni abstrak (Bali) untuk memperkuat
karakter figuratif dalam karyanya yang kuat merepresentasikan fenomena sosial.
Karya Suja banyak dipengaruhi oleh pergolakan sosial politik yang terjadi pada
tahun 1998 dan setelahnya yang berlanjut dengan pergantian kekuasaan, tidak
seperti seniman muda sejamannya sebagai mahasiswa Suja tidak dapat menutup mata
dengan pergolakan sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam karya “Atas Nama Kebenaran Apa?” menampilkan
figur-figur terpiuh dengan berbagai ekspresi, menghadirkan kondisi chaos
pasca pergantian kekuasaan rezim Orde Baru munculnya tokoh-tokoh “baru” dengan berbagai
janji-janji visi perubahan untuk membawa bangsa kebabak baru yang lebih baik.
Suja sebagai seniman muda merasakan fenomena tersebut, dan dari judul yang
disematkan dalam karyanya ini terlihat mosi ketidakpercayaannya pada para tokoh-tokoh
baru ini. Karenan keadaan yang berlangsung
bukannya lebih baik malah tambah “parah”, hingga rakyat kelas bawah jadi korban
nafsu untuk berkuasa dari para elit politik.
Karya-karya Suja
hingga th 2002 kerap merepresentasikan persoalan sosial politik yang tengah
berlangsung kala itu, pada umumnya menampilkan figur-figur terpiuh warna-warna
yang dipilihnya pekat, suram, gelap, dinominasi warna merah, kuning, hijau, biru,
coklat yang tidak bright namun
bernuansa ke-gelap-an bahkan hitam. Dipadukan dengan lelehan, goresan kuas
kasar, dan kadang bertekstur, dalam beberapa karya Suja kerap membuat kolase
dari potongan majalah, koran, yang disablon dan ia juga kerap membuat kolase
berdimensi dari kotak kayu dan sebagainya. Sebagai seniman muda awal karir
kesenimanannya berjalan mulus dan dia bisa masuk dalam jaringan Sanggar Dewata
Indonesia (SDI) sebuah kelompok seniman Bali yang mendominasi perkembangan seni
rupa Bali kala itu. Saat itu tidaklah mudah masuk dalam jaringan SDI yang
sangat dominan tersebut apalagi bagi seniman yang bukan kuliah di ISI
Yogyakarta. Suja mendapat pengecualian karena prestasi yang telah ditunjukannya
sebagai seniman muda yang cukup potensial di Bali.
Ternyata penerimaan
arus utama SDI dalam awal karir Wayan Suja tidak membuatnya terlena dan malah
berbalik, daya kritis yang dipresentasikan dalam karya-karyannya memberi dasar
baginya untuk lebih kritis melihat medan seni rupa Bali. Bersamaan dengan masa
kejayaan seniman SDI di kalangan seniman muda terutama mahasiswa STSI/ISI
Denpasar tengah terjadi pergolakan kritis terhadap situasi seni rupa Bali kala
itu yang didominasi oleh SDI. Hingga akhirnya terjadi konsolidasi besar-besaran
di mahasiswa dan berujung sebuah Gerakan Mendobrak Hegemoni th 2001, yang
mengkritisi kemapanan seni rupa Bali-SDI yang berhasil membentuk instutusi seni
rupa. Suja yang karirnya senimannya sedang menanjak dan setelah sepulang dari
lawatannya ke Bandung. Ketika mendapati suasana seni rupa Bali sedang memanas pasca
gerakan Mendobrak, dia pun terketuk untuk ikut melakukan sebuah perubahan.
Secara intensif Suja yang sudah menjadi alumni STSI akhirnya masuk kampus lagi
mengadvokasi rekan-rekannya yang terlibat prahara akibat gerakan Mendobrak.
Dengan referensi
dari lawatan mereka ke Bandung saat BAE kedua, Suja dan rekan-rekannya yang
lain menyatukan keinginan untuk membentuk sebuah komunitas yang diberinama
Klinik Seni Taxu. Untuk pertama kalinya pada th 2003 komunitas membuat alternative space di Denpasar. Keputusan
berafiliasi dengan rekan-rekannya yang terlibat dalam gerakan Mendobrak, Suja
telah memutuskan untuk menunda/mengalihkan jalur karir kesenimannya. Dia rela
meninggalkan jaringan mapan (terutama pasar seni lukis) yang telah terbuka
lebar untuknya. Dalam komunitas Suja mengembangkan sikap kritis pada latar
kultural tempatnya tumbuh yaitu Bali, sejalan dengan semangat komunitas yang
menaruh perhatian pada konstruksi budaya Bali. Hal ini terepresentasi kuat
dalam karya-karya di tahun 2002, yang dipamerkan dalam pameran “Hati-hati Ada
Upacara Taxu” 2002 di Klinik Seni Taxu Art
Space. Suja menampilkan karya-karya yang kuat menampilkan representasi
persoalan terkini di Bali yang tengah dirundung duka Bom Bali # 1 Oktober 2001.
Karya yang
berjudul “Identitas Bali 2003” menampilkan sensitifnya persoalan identitas di
Bali pasca Bom Kuta, identitas Bali dan non Bali adalah persoalan yang sangat
penting. Orang Bali tiba-tiba menjadi paranoid dengan identitas tertentu dari
masyarakat pendatang, kemudian diadakan penertiban terhadap identitas para
pendatang yang datang dan tinggal di Bali. Pintu masuk Bali dari Barat di
Gilimanuk dan Padang Bali mulai diadakan pemeriksaan rutin Identitas (ini masih
lakukan hingga saat ini) orang-orang yang datang ke Bali.
Dalam karya Suja
secara sinikal menampilkan persoalan identitas tersebut, berupa seorang pemuda
Bali yang berpakaian adat, kamen, saput,
udeng dan menyelip keris dipunggungnya dengan memakai kaca mata hitam,
didadanya tergantung palakat nama bertuliskan “Bali Asli”. Disampingya duduk
seekor anjing hitam bertuliskan “Bali Campuran”, berlatarkan komposisi warna poleng (hitam-putih) tergantung sebuah
plakat lagi yang bertuliskan “Di cari!!! Beridentitas Bali”. Dari pakaian yang
dikenakan oleh sang laki-laki menunjuk pada sosok Pecalang, satuan adat sebagai
penjaga ketentraman Bali. Setelah peristiwa Bom Bali Pecalang sangat berperan
dalam mengamankan Bali selain aparat keamanan. Satuan ketertiban adat ini dapat
dibaca sebagai upaya protektif dan difensif-Bali dalam menghadapi serangan atas
Bali. Kondisi ini bisa dimaknai sebagai bentuk reaksi simbolik, karena kalau
dilihat dari kacamata keamanan jelas pengamanan versi pecalang tidaklah bisa
dibilang memadai dari sisi pengaman yang dilaksanakannya. Reaksi ini oleh
Degung Santikarma disebut sebagai “Siaga Budaya dan Budaya Siaga”. Dalam karya
Suja menampilkan persoalan siaga budaya ini dengan menampilkan sosok pecalang
berbadan tegap memakai kacamata dengan sebilah keris dibelakang punggung
ditampilkan secara frontal.
Dalam komunitas
Suja yang sempat menjabat sebagai presiden Taxu tidak saja mengasah kepekaan kritikalnya
dalam menganggapi kondisi sosial-budaya yang tengah terjadi di sekitarnya.
Selain berkarya dia juga mulai menulis artikel seni rupa mengisi buletin seni
rupa Kitsch yang mereka terbitkan secara mandiri, dan juga beberapa kali
menulis untuk rubrik seni harian Bali Post.
Sembari mengasah
daya kritis dengan kecenderungan menampilkan representasi dari sisi estetik
dalam karya-karya Suja dari tahun 2003 terjadi perubahan, dari figuratif
menjadi lebih realis. Pergerakannya ini sebenarnya bersifat coaccident terjadi tidak akibat
disengajai untuk beralih gaya (bahasa rupa), pergerakan ini terjadi mengiringi
intensi Suja menampilkan persoalan kontekstual dalam karyanya. Jelas bahasa
representasi yaitu realis menjadi pilihan, karena dengan bahasa realislah persoalan
tersebut dapat segera tampil tanpa bungkus simbolik. Pergeseran ini dapat
dimaknai sebagai sikap berkesenian Suja yang mulai secara eksplisit dia
tampilkan, dalam karya-karyanya terdahulu persoalan kontekstual dalam karya
Suja ditampilkan dengan konstruksi visual yang lebih bersifat simbolik.
Keputusan Suja untuk beralih bergabung dengan batifnya namun juga memberi
perubahan dalam estetik karyanya, terjadi perubahan dari abstraksi-figuratif
yang bersifat simbolik menjadi lebih representasional (realis), namun lebih
memainkan tanda-tanda pada tataran konotaif dan denotatif.
Pengalamannya
dalam mengangkat persoalan besar dalam budaya Bali lambat lain mengkristal dan
memberikan prespektif baru bagi perkembangan karya Suja selanjutnya. Dalam
pameran kedua Klinik Seni Taxu tahun 2004 yang bertajuk “Rememoratin”, Suja
menampilkan karya berjudul “Flattery of the little Clown” menampilkan sosok anak kecil yang sedang terpesona dengan
sebuah boneka yang tergantung bergerak-gerak di depannya (digantung terpisah di
depan lukisan). Di sampingnya terdapat pas foto Suja Sendiri dari semenjak di
SD hingga lulus S1, pada bagian paling pinggir terdapat lobang-lobang yang
berisi kaca cermin. Ekspresi si anak yang serasa menginginkan boneka itu namun itu
hanya sebatas keinginan semata, karena boneka tersebut meskipun terlihat dekat
namun ia dibatasi oleh dimensi waktu. Jika dikaitkan dengan pas foto diri yang
ditampilkan disamping, hal ini bisa dibaca mungkin representasi obsesi sang
seniman sendiri.
Namun terlepas
dari tepat tidaknya pemaknaan itu, karya ini memberikan kesadaran baru bagi
Suja dalam menyikapi persoalan sosial budaya yang tengah dia kritisi. Jika
sebelumnya karya-karyanya umumnya menampilkan narasi besar persoalan sosial
politik bangsa pasca reformasi (karya-karyanya antara 1998-2001) persoalan
sosial budaya Bali pasca Bom Kuta (pada karya-karya 2002-2003), kini Suja
mengalihkan perhatiannya pada persoalan pada narasi kecil persoalan diri
sendiri dan orang Bali sendiri dalam memposisikan diri dibalik kepungan arus
modernisasi dan globalisasi.
Who Want to be a Balinese Artist?, 2004 |
Meskipun
kemudian terjadi perubahan dalam kebijakan Taxu[1]
untuk lebih memfokuskan pencarian estetik pada persoalan non kontekstual
(formal) dalam presentasi karya-karya realis Taxu. Masa transisi ini dijalaninya
dengan melahirkan karya yang dia berijudul “Aesthetic Line” 2005, menampilkan
sebuah figur yang berada dipinggir sisi lukisan sedan berkacak pinggang melihat
ke bawah. Sepertinya sedang memikiran sesuatu karya ini berlatarkan warna merah
yang bernuansa lelehan dan warna coklat/hitam. Lewat karya ini Suja sepertinya
sedang mengeveluasi proses kreativitasnya, dan mencari jawaban mengenai kemana
dan apa sesungguhnya yang akan dia tampilkan dalam karya-karyanya.
Swear...! aku orang Bali, 2005 http://www.sovereignartfoundation.com/art-prizes/asia/gallery/?year=2005&page=2 |
Suja tidak
sepenuhnya sepakat dengan keputusan untuk mengeliminir representasi persoalan
kontekstual, daya kritis terhadap persoalan sosial tidak bisa dia hilangkan
begitu saja. Karya-karya yang dibuat pada tahun 2005-pertengahan 2006
menyiratkan transisi dan pergulatan Suja antara penekanan aspek-aspek formal
dan muatan kontekstual. Pergulatan itu dapat disimak dalam karya seri cocacola
yang diberi judul, “Swear...! Aku Orang Bali” 2005, karya ini menampilkan sosok
anak kecil sedang meneguk minuman kaleng cocacola dengan mamakai baju donal
bebek. Ditambah dengan running texs ditengah-tengah lukisan yang bertuliskan
swear..aku orang Bali. Sekilas karya ini karya ini cukup sederhana hanya
menampilkan figur anak kecil yang sedang minum cocacola tidak ada yang spesial
dalam hal ini, karena telah umum terjadi dimasyarakat (makna denotasi). Namun
ditinjau lebih dalam karya ini berada dalam posisi tanda yang tidak hanya
bermakna denotasi namun lebih pada makna konotasinya.
Kaleng Coca-cola
minum yang telah menglobal, tokoh Donal bebek sebagai ikon Disney perusahan
raksasa dalam bidang hiburan anak-anak adalah ikon-ikon yang berkonotasi luas.
Bisa berbicara mengenai globalisasi, konsumerisme, dan bahkan dekolonialisasi
dalam bentuk budaya. Suja dengan sadar mengambil ikon-ikon tersebut untuk merepresentasikan
apa yang tengah persoalan sosial budaya Bali khususnya dan umumnya masyarakat
dunia ketiga. Judul yang terasa bernada penegasan, justru memunculkan
pertanyaan apa susungguhnya identitas tersebut? Apakah ketika kita memakai atau
menikmati produk-produk modern (Barat) identitas kita telah berubah? Atau
sebaliknya apakah dengan memakai pakain adat Bali berarti seseorang itu
tentunya orang Bali?
Transformasi
yang tengah terjadi dalam diri dan terepresentasi dalam karya-karya adalah
betapa susungguhnya dia mendapati persoalan budaya itu sangat berlapis-lapis
sehingga tidak mungkin melihatnya hanya dengan kaca mata kuda dan bahkan hitam
putih. Kedetakan Suja dengan realitas adat dan iteraksi sosial yang telah
menjadi kesehariannya seperti orang Bali pada umumnya, memberikannya cara
pandang baru dalam meihat dan menanggapi persoalan yang tengah dihadapi oleh
dia sendiri dan saudara-saudaranya di Bali.
Stretching object#7: Plastic Bag Hegemony 1, 2006 |
Transformasi ini menumbuhkan keyakinan Suja transformasi estetik tidaklah identik dengan semangat avant garde, yang kembali menghindari representasi budaya. Kebedaan pemahaman inilah yang kemudian menjadikan Suja memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari presiden Taxu, dan menapaki kreativitasnya sebagai seniman indefenden berbekal keyakinan yang dipengangnya. Suja memang sosok seniman yang tidak pernah lepas dari perguatan kreatif tahun 2006 ketika berpameran bersama Klinik Seni Taxu di Cp Art Space Jakarta Suja mengawali sebuah ekplorasi baru yang kemudian menghantarkannya pada kematangan teknik dan sesibilitas. Karyanya dalam seri stretching object berupa tampilan obyek yang terpiuh dari efek digital-photoshop.
Stretching object#8: Plastic Bag Hegemony, 2006 |
Karya yang berjudul “Stretching object#2: Psst…Don't tell anyone…!
I'm Balinese too, 2005” Suja menampilkan pragmen dirinya yang sedang mengacungkan tangan kewajah yang
ditutupi oleh plastik kemasan Dunkin Donat karya ini kembali menampilkan
transisi pengolahan estetik (fromal) dalan konstruksi karyanya, dengan
persoalan konteks (identitas dan konsumerisme). Lewat seri karya stretching object ini Suja menemukan plastik
sebagai ide yang selanjutnya semakin ditekuninya. Tahun 2007 secara mengejutkan
Suja menampilkan belasan eksplorasi plastik dalam karya-karyanya.
Dalam pameran tunggal pertama ini diberi judul “Plush-tick”, yang
menampilkan penggalian Suja pada persoalan teknis untuk merepresentasikan
kehadiran plastik yang transparan yang tumpah tindih dengan figur-figur
manusia; anak kecil, wanita, dan orang tua. Suwarno Wisetrotomo sebagai kurator
pameran mengungkapkan:
Wajah-wajah yang tersamar oleh plastik-plastik kemasan itu adalah
wajah-wajah yang dalam posisi “tak terhindarkan”, atau “apa boleh buat” (lihat
karyanya seperti “Plastic Bag Exotica 3: Silent Face 01” (2007), Camouflage#1
(2007), Silent Face 02 (2007)). Atau karya objek tiga dimensional yang
menghentak; manekin dari bambu yang dianyam, bentuknya mengisyaratkan laki-laki
dan perempuan, mengenakan busana
berbahan plastik kemasan.
Kita seperti menyaksikan parade
manusia yang tertikam oleh merek, oleh produk, oleh citra, yang (mungkin)
merasa “ada karena belanja, ada karena merek, ada karena mengkonsumsi”. Juga
eksperimennya melukis di atas plat yang ringsek, seperti mengisyaratkan
iklan-iklan yang meringsekkan identitas manusia pada umumnya. Iklan yang
merepresi secara laten terhadap selera dan
keyakinan siapapun[2].
Camouflage #1, 2007 |
Celebration of Change, 2007 |
Dalam pameran ini Suja kembali menampilkan
kemantapan keyakinannya, karya-karya menampilkan kemajuan peggalian visual
(kepekaan formal) yang difomulasikan dengan muatan kontekstual. Suja seraya
membuktikan keyakinannya, bahwa transformasi ala Taxu bukanlah satu-satunya
cara untuk eksis di medan seni kontemporer. Berbeda dengan Taxu yang
selanjutnya justru eksis dengan mentransformasi diri dan mereduksi citra
“kritisisme budaya” yang sedari awal dengan gigih dibangun bersama. Suja yang
memilih keluar dari komunitas dengan mempertahankan kritisisme budaya yang sedari
awal dibina dalam komunitas, ironisnya spirit Taxu masih melekat justru masih
melekat pada diri eksponennya yang memilih keluar dari komunitas. Tentang
pemilihan tema plastik Suja mengungkapkan pandangannya sebagai berikut;
Kenyataan tidak bisa terhindarkan bahwa plastic adalah sebuah
paradok dalam kehidupan masyarakat modern. Ia tidak bisa dipungkiri maanfaatnya
dalam berbagai aspek kehidupan manusia, namun disisi lain sampah-sampah dari
plastik berperan besar dalam proses kerusakan lingkungan. Plastik bukan hanya
persoalan dalam kehidupan masyarakat urban saja, tapi sudah merambat ke dalam
kehidupan masyarakat tradisional di pedesaan.[3]
Terakhir, kembali dengan mengutif konsep berkaryanya Suja
menegaskan; “kehadiran plastik dalam karya saya merupakan penanda atau bisa
juga di baca sebagai metaphor dari
budaya konsumerisme yang sedang saya atau mungkin juga anda rayakan
bersama-sama sebagai identitas baru yang dianggap simbol “kemewahan” dalam gaya
hidup”[4].
Bandung oktober-November 2008
I Wayan Seriyoga Parta
[1] Kebijakan ini merupakan upaya transformasi Taxu yang pernah
distigmakan realis sosialis Bali, karena dalam beberapa projectnya, kerap
menampilkan secara kritis persoalan sosial budaya Bali. Th 2004 atas undangan
Rumah Seni Cemeti Yogyakarta, Klinik Seni Taxu membuat project penggalian
sejarah 1965 di Bali yang diberi judul “Memasak dan Sejarah”.
[2] Baca Suwarno Wisetrotomo dalam Katalog Pameran tunggal I Wayan Suja
“Plush-tick” 2007 Komaneka Fine Art Gallery Ubud.
[3] Konsep berkarya I Wayan Suja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar