Selasa, 11 Agustus 2015

Evolusi Visual Dalam Proses Kreatif Wayan Suja

Wayan Suja mulai berkenalan dengan seni rupa (lukis) ketika dia memasuki Sekolah Menengah Seni Rupa SMSR tahun 1991, melalui bangku sekolah inilah dia mulai mengasah kemampuan skill rupanya dan berkenalan dengan teknik melukis modern. Ketertarikannya pada seni rupa semakin tumbuh dan menghantarkannya untuk memasuki pendidikan seni pada jenjang yang lebih tinggi, setelah lulus dari sekolah menengah tahun 1995 Suja memutuskan untuk melanjutkan studinya pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI/ISI) Denpasar. Membawanya mulai berkenalan dengan seni lukis abstrak yang saat itu merebak di Bali hasil temuan seniman-seniman Sanggar Dewata Indonesia (SDI).

Pada Institusi ini Suja semakin ditempa daya kreativitasnya dan semakin dekat dengan kaidah-kaidah seni modern, dan seiring dengan menguatnya  gaya abstrak-simbolik Bali, karya-karyanya hingga akhir 1990-an sangat kuat menampilkan abstraksi. Pada tahun 1999 Suja beserta tiga kawan seangkatannya membentuk kelompok Catur Muka, sebuah kelompok seniman muda yang cukup terdepan kala itu dengan status masih sebagai mahasiswa mereka sudah berpameran di galeri-galeri yang penting di Bali. Suja sendiri menjelang akhir masa studinya sekitar awal tahun 2000-an sudah mulai diundang dalam pameran pada galeri-galeri Jakarta. Tahun 2000 karyanya masuk dalam nominasi Phillip Morris Art Award sebuah kompetisi yang cukup bergengsi untuk menapaki karir di seni rupa bagi seniman muda kala itu.
 
Atas Nama Kebenaran Apa? 2001
Sedari awal perkembangan karya-karyanya, Suja tidak sepenuhnya menyerap gaya seni abstrak yang sedang berkembang di Bali, dia hanya mengambil efek ekspresif dari lelehan, goresan kasar, tekstur, pada seni abstrak (Bali) untuk memperkuat karakter figuratif dalam karyanya yang kuat merepresentasikan fenomena sosial. Karya Suja banyak dipengaruhi oleh pergolakan sosial politik yang terjadi pada tahun 1998 dan setelahnya yang berlanjut dengan pergantian kekuasaan, tidak seperti seniman muda sejamannya sebagai mahasiswa Suja tidak dapat menutup mata dengan pergolakan sosial yang terjadi di sekitarnya. Dalam karya “Atas Nama Kebenaran Apa?” menampilkan figur-figur terpiuh dengan berbagai ekspresi, menghadirkan kondisi chaos pasca pergantian kekuasaan rezim Orde Baru munculnya tokoh-tokoh “baru” dengan berbagai janji-janji visi perubahan untuk membawa bangsa kebabak baru yang lebih baik. Suja sebagai seniman muda merasakan fenomena tersebut, dan dari judul yang disematkan dalam karyanya ini terlihat mosi ketidakpercayaannya pada para tokoh-tokoh baru ini.  Karenan keadaan yang berlangsung bukannya lebih baik malah tambah “parah”, hingga rakyat kelas bawah jadi korban nafsu untuk berkuasa dari para elit politik.

Karya-karya Suja hingga th 2002 kerap merepresentasikan persoalan sosial politik yang tengah berlangsung kala itu, pada umumnya menampilkan figur-figur terpiuh warna-warna yang dipilihnya pekat, suram, gelap, dinominasi warna merah, kuning, hijau, biru, coklat yang tidak bright namun bernuansa ke-gelap-an bahkan hitam. Dipadukan dengan lelehan, goresan kuas kasar, dan kadang bertekstur, dalam beberapa karya Suja kerap membuat kolase dari potongan majalah, koran, yang disablon dan ia juga kerap membuat kolase berdimensi dari kotak kayu dan sebagainya. Sebagai seniman muda awal karir kesenimanannya berjalan mulus dan dia bisa masuk dalam jaringan Sanggar Dewata Indonesia (SDI) sebuah kelompok seniman Bali yang mendominasi perkembangan seni rupa Bali kala itu. Saat itu tidaklah mudah masuk dalam jaringan SDI yang sangat dominan tersebut apalagi bagi seniman yang bukan kuliah di ISI Yogyakarta. Suja mendapat pengecualian karena prestasi yang telah ditunjukannya sebagai seniman muda yang cukup potensial di Bali.

Ternyata penerimaan arus utama SDI dalam awal karir Wayan Suja tidak membuatnya terlena dan malah berbalik, daya kritis yang dipresentasikan dalam karya-karyannya memberi dasar baginya untuk lebih kritis melihat medan seni rupa Bali. Bersamaan dengan masa kejayaan seniman SDI di kalangan seniman muda terutama mahasiswa STSI/ISI Denpasar tengah terjadi pergolakan kritis terhadap situasi seni rupa Bali kala itu yang didominasi oleh SDI. Hingga akhirnya terjadi konsolidasi besar-besaran di mahasiswa dan berujung sebuah Gerakan Mendobrak Hegemoni th 2001, yang mengkritisi kemapanan seni rupa Bali-SDI yang berhasil membentuk instutusi seni rupa. Suja yang karirnya senimannya sedang menanjak dan setelah sepulang dari lawatannya ke Bandung. Ketika mendapati suasana seni rupa Bali sedang memanas pasca gerakan Mendobrak, dia pun terketuk untuk ikut melakukan sebuah perubahan. Secara intensif Suja yang sudah menjadi alumni STSI akhirnya masuk kampus lagi mengadvokasi rekan-rekannya yang terlibat prahara akibat gerakan Mendobrak.
 
Identitas Bali? 2003
Dengan referensi dari lawatan mereka ke Bandung saat BAE kedua, Suja dan rekan-rekannya yang lain menyatukan keinginan untuk membentuk sebuah komunitas yang diberinama Klinik Seni Taxu. Untuk pertama kalinya pada th 2003 komunitas membuat alternative space di Denpasar. Keputusan berafiliasi dengan rekan-rekannya yang terlibat dalam gerakan Mendobrak, Suja telah memutuskan untuk menunda/mengalihkan jalur karir kesenimannya. Dia rela meninggalkan jaringan mapan (terutama pasar seni lukis) yang telah terbuka lebar untuknya. Dalam komunitas Suja mengembangkan sikap kritis pada latar kultural tempatnya tumbuh yaitu Bali, sejalan dengan semangat komunitas yang menaruh perhatian pada konstruksi budaya Bali. Hal ini terepresentasi kuat dalam karya-karya di tahun 2002, yang dipamerkan dalam pameran “Hati-hati Ada Upacara Taxu” 2002 di Klinik Seni Taxu Art Space. Suja menampilkan karya-karya yang kuat menampilkan representasi persoalan terkini di Bali yang tengah dirundung duka Bom Bali # 1 Oktober 2001.

Karya yang berjudul “Identitas Bali 2003” menampilkan sensitifnya persoalan identitas di Bali pasca Bom Kuta, identitas Bali dan non Bali adalah persoalan yang sangat penting. Orang Bali tiba-tiba menjadi paranoid dengan identitas tertentu dari masyarakat pendatang, kemudian diadakan penertiban terhadap identitas para pendatang yang datang dan tinggal di Bali. Pintu masuk Bali dari Barat di Gilimanuk dan Padang Bali mulai diadakan pemeriksaan rutin Identitas (ini masih lakukan hingga saat ini) orang-orang yang datang ke Bali.

Dalam karya Suja secara sinikal menampilkan persoalan identitas tersebut, berupa seorang pemuda Bali yang berpakaian adat, kamen, saput, udeng dan menyelip keris dipunggungnya dengan memakai kaca mata hitam, didadanya tergantung palakat nama bertuliskan “Bali Asli”. Disampingya duduk seekor anjing hitam bertuliskan “Bali Campuran”, berlatarkan komposisi warna poleng (hitam-putih) tergantung sebuah plakat lagi yang bertuliskan “Di cari!!! Beridentitas Bali”. Dari pakaian yang dikenakan oleh sang laki-laki menunjuk pada sosok Pecalang, satuan adat sebagai penjaga ketentraman Bali. Setelah peristiwa Bom Bali Pecalang sangat berperan dalam mengamankan Bali selain aparat keamanan. Satuan ketertiban adat ini dapat dibaca sebagai upaya protektif dan difensif-Bali dalam menghadapi serangan atas Bali. Kondisi ini bisa dimaknai sebagai bentuk reaksi simbolik, karena kalau dilihat dari kacamata keamanan jelas pengamanan versi pecalang tidaklah bisa dibilang memadai dari sisi pengaman yang dilaksanakannya. Reaksi ini oleh Degung Santikarma disebut sebagai “Siaga Budaya dan Budaya Siaga”. Dalam karya Suja menampilkan persoalan siaga budaya ini dengan menampilkan sosok pecalang berbadan tegap memakai kacamata dengan sebilah keris dibelakang punggung ditampilkan secara frontal.
 
Flattery of the little Clown, 2004
Dalam komunitas Suja yang sempat menjabat sebagai presiden Taxu tidak saja mengasah kepekaan kritikalnya dalam menganggapi kondisi sosial-budaya yang tengah terjadi di sekitarnya. Selain berkarya dia juga mulai menulis artikel seni rupa mengisi buletin seni rupa Kitsch yang mereka terbitkan secara mandiri, dan juga beberapa kali menulis untuk rubrik seni harian Bali Post.

Sembari mengasah daya kritis dengan kecenderungan menampilkan representasi dari sisi estetik dalam karya-karya Suja dari tahun 2003 terjadi perubahan, dari figuratif menjadi lebih realis. Pergerakannya ini sebenarnya bersifat coaccident terjadi tidak akibat disengajai untuk beralih gaya (bahasa rupa), pergerakan ini terjadi mengiringi intensi Suja menampilkan persoalan kontekstual dalam karyanya. Jelas bahasa representasi yaitu realis menjadi pilihan, karena dengan bahasa realislah persoalan tersebut dapat segera tampil tanpa bungkus simbolik. Pergeseran ini dapat dimaknai sebagai sikap berkesenian Suja yang mulai secara eksplisit dia tampilkan, dalam karya-karyanya terdahulu persoalan kontekstual dalam karya Suja ditampilkan dengan konstruksi visual yang lebih bersifat simbolik. Keputusan Suja untuk beralih bergabung dengan batifnya namun juga memberi perubahan dalam estetik karyanya, terjadi perubahan dari abstraksi-figuratif yang bersifat simbolik menjadi lebih representasional (realis), namun lebih memainkan tanda-tanda pada tataran konotaif dan denotatif.

Pengalamannya dalam mengangkat persoalan besar dalam budaya Bali lambat lain mengkristal dan memberikan prespektif baru bagi perkembangan karya Suja selanjutnya. Dalam pameran kedua Klinik Seni Taxu tahun 2004 yang bertajuk “Rememoratin”, Suja menampilkan karya berjudul “Flattery of the little Clown” menampilkan  sosok anak kecil yang sedang terpesona dengan sebuah boneka yang tergantung bergerak-gerak di depannya (digantung terpisah di depan lukisan). Di sampingnya terdapat pas foto Suja Sendiri dari semenjak di SD hingga lulus S1, pada bagian paling pinggir terdapat lobang-lobang yang berisi kaca cermin. Ekspresi si anak yang serasa menginginkan boneka itu namun itu hanya sebatas keinginan semata, karena boneka tersebut meskipun terlihat dekat namun ia dibatasi oleh dimensi waktu. Jika dikaitkan dengan pas foto diri yang ditampilkan disamping, hal ini bisa dibaca mungkin representasi obsesi sang seniman sendiri.

Namun terlepas dari tepat tidaknya pemaknaan itu, karya ini memberikan kesadaran baru bagi Suja dalam menyikapi persoalan sosial budaya yang tengah dia kritisi. Jika sebelumnya karya-karyanya umumnya menampilkan narasi besar persoalan sosial politik bangsa pasca reformasi (karya-karyanya antara 1998-2001) persoalan sosial budaya Bali pasca Bom Kuta (pada karya-karya 2002-2003), kini Suja mengalihkan perhatiannya pada persoalan pada narasi kecil persoalan diri sendiri dan orang Bali sendiri dalam memposisikan diri dibalik kepungan arus modernisasi dan globalisasi.
 
Aesthetic Line, 2004

Who Want to be a Balinese Artist?, 2004

Meskipun kemudian terjadi perubahan dalam kebijakan Taxu[1] untuk lebih memfokuskan pencarian estetik pada persoalan non kontekstual (formal) dalam presentasi karya-karya realis Taxu. Masa transisi ini dijalaninya dengan melahirkan karya yang dia berijudul “Aesthetic Line” 2005, menampilkan sebuah figur yang berada dipinggir sisi lukisan sedan berkacak pinggang melihat ke bawah. Sepertinya sedang memikiran sesuatu karya ini berlatarkan warna merah yang bernuansa lelehan dan warna coklat/hitam. Lewat karya ini Suja sepertinya sedang mengeveluasi proses kreativitasnya, dan mencari jawaban mengenai kemana dan apa sesungguhnya yang akan dia tampilkan dalam karya-karyanya.
Swear...! aku orang Bali, 2005
http://www.sovereignartfoundation.com/art-prizes/asia/gallery/?year=2005&page=2

Suja tidak sepenuhnya sepakat dengan keputusan untuk mengeliminir representasi persoalan kontekstual, daya kritis terhadap persoalan sosial tidak bisa dia hilangkan begitu saja. Karya-karya yang dibuat pada tahun 2005-pertengahan 2006 menyiratkan transisi dan pergulatan Suja antara penekanan aspek-aspek formal dan muatan kontekstual. Pergulatan itu dapat disimak dalam karya seri cocacola yang diberi judul, “Swear...! Aku Orang Bali” 2005, karya ini menampilkan sosok anak kecil sedang meneguk minuman kaleng cocacola dengan mamakai baju donal bebek. Ditambah dengan running texs ditengah-tengah lukisan yang bertuliskan swear..aku orang Bali. Sekilas karya ini karya ini cukup sederhana hanya menampilkan figur anak kecil yang sedang minum cocacola tidak ada yang spesial dalam hal ini, karena telah umum terjadi dimasyarakat (makna denotasi). Namun ditinjau lebih dalam karya ini berada dalam posisi tanda yang tidak hanya bermakna denotasi namun lebih pada makna konotasinya.
Kaleng Coca-cola minum yang telah menglobal, tokoh Donal bebek sebagai ikon Disney perusahan raksasa dalam bidang hiburan anak-anak adalah ikon-ikon yang berkonotasi luas. Bisa berbicara mengenai globalisasi, konsumerisme, dan bahkan dekolonialisasi dalam bentuk budaya. Suja dengan sadar mengambil ikon-ikon tersebut untuk merepresentasikan apa yang tengah persoalan sosial budaya Bali khususnya dan umumnya masyarakat dunia ketiga. Judul yang terasa bernada penegasan, justru memunculkan pertanyaan apa susungguhnya identitas tersebut? Apakah ketika kita memakai atau menikmati produk-produk modern (Barat) identitas kita telah berubah? Atau sebaliknya apakah dengan memakai pakain adat Bali berarti seseorang itu tentunya orang Bali?

Transformasi yang tengah terjadi dalam diri dan terepresentasi dalam karya-karya adalah betapa susungguhnya dia mendapati persoalan budaya itu sangat berlapis-lapis sehingga tidak mungkin melihatnya hanya dengan kaca mata kuda dan bahkan hitam putih. Kedetakan Suja dengan realitas adat dan iteraksi sosial yang telah menjadi kesehariannya seperti orang Bali pada umumnya, memberikannya cara pandang baru dalam meihat dan menanggapi persoalan yang tengah dihadapi oleh dia sendiri dan saudara-saudaranya di Bali.
 
Stretching object#2: Psst…Don't tell anyone…! I'm Balinese too, 2005

Stretching object#7: Plastic Bag Hegemony 1, 2006

Transformasi ini menumbuhkan keyakinan Suja transformasi estetik tidaklah identik dengan semangat avant garde, yang kembali menghindari representasi budaya. Kebedaan pemahaman inilah yang kemudian menjadikan Suja memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari presiden Taxu, dan menapaki kreativitasnya sebagai seniman indefenden berbekal keyakinan yang dipengangnya. Suja memang sosok seniman yang tidak pernah lepas dari perguatan kreatif tahun 2006 ketika berpameran bersama Klinik Seni Taxu di Cp Art Space Jakarta Suja mengawali sebuah ekplorasi baru yang kemudian menghantarkannya pada kematangan teknik dan sesibilitas. Karyanya dalam seri stretching object berupa tampilan obyek yang terpiuh dari efek digital-photoshop.


Stretching object#8: Plastic Bag Hegemony, 2006

Karya yang berjudul “Stretching object#2: Psst…Don't tell anyone…! I'm Balinese too, 2005”  Suja menampilkan pragmen dirinya yang sedang mengacungkan tangan kewajah yang ditutupi oleh plastik kemasan Dunkin Donat karya ini kembali menampilkan transisi pengolahan estetik (fromal) dalan konstruksi karyanya, dengan persoalan konteks (identitas dan konsumerisme). Lewat seri karya stretching object ini Suja menemukan plastik sebagai ide yang selanjutnya semakin ditekuninya. Tahun 2007 secara mengejutkan Suja menampilkan belasan eksplorasi plastik dalam karya-karyanya.
 
Plastic Bag Exotica #2: Grayscale on the Quinacridone Rose, 2006
Dalam pameran tunggal pertama ini diberi judul “Plush-tick”, yang menampilkan penggalian Suja pada persoalan teknis untuk merepresentasikan kehadiran plastik yang transparan yang tumpah tindih dengan figur-figur manusia; anak kecil, wanita, dan orang tua. Suwarno Wisetrotomo sebagai kurator pameran mengungkapkan:
Wajah-wajah yang tersamar oleh plastik-plastik kemasan itu adalah wajah-wajah yang dalam posisi “tak terhindarkan”, atau “apa boleh buat” (lihat karyanya seperti “Plastic Bag Exotica 3: Silent Face 01” (2007), Camouflage#1 (2007), Silent Face 02 (2007)). Atau karya objek tiga dimensional yang menghentak; manekin dari bambu yang dianyam, bentuknya mengisyaratkan laki-laki dan perempuan,  mengenakan  busana  berbahan  plastik  kemasan.  Kita  seperti menyaksikan parade manusia yang tertikam oleh merek, oleh produk, oleh citra, yang (mungkin) merasa “ada karena belanja, ada karena merek, ada karena mengkonsumsi”. Juga eksperimennya melukis di atas plat yang ringsek, seperti mengisyaratkan iklan-iklan yang meringsekkan identitas manusia pada umumnya. Iklan yang merepresi secara laten terhadap selera dan  keyakinan siapapun[2].
 
Plastic Bag Exotica #3; Silent Face 07
Camouflage #1, 2007
Silent Face 01, 2007
Komang Kenyem Smile, 2007
Reflection, 2007
Plush-tick, 2007

Celebration of Change, 2007


Dalam pameran ini Suja kembali menampilkan kemantapan keyakinannya, karya-karya menampilkan kemajuan peggalian visual (kepekaan formal) yang difomulasikan dengan muatan kontekstual. Suja seraya membuktikan keyakinannya, bahwa transformasi ala Taxu bukanlah satu-satunya cara untuk eksis di medan seni kontemporer. Berbeda dengan Taxu yang selanjutnya justru eksis dengan mentransformasi diri dan mereduksi citra “kritisisme budaya” yang sedari awal dengan gigih dibangun bersama. Suja yang memilih keluar dari komunitas dengan mempertahankan kritisisme budaya yang sedari awal dibina dalam komunitas, ironisnya spirit Taxu masih melekat justru masih melekat pada diri eksponennya yang memilih keluar dari komunitas. Tentang pemilihan tema plastik Suja mengungkapkan pandangannya sebagai berikut;
Kenyataan tidak bisa terhindarkan bahwa plastic adalah sebuah paradok dalam kehidupan masyarakat modern. Ia tidak bisa dipungkiri maanfaatnya dalam berbagai aspek kehidupan manusia, namun disisi lain sampah-sampah dari plastik berperan besar dalam proses kerusakan lingkungan. Plastik bukan hanya persoalan dalam kehidupan masyarakat urban saja, tapi sudah merambat ke dalam kehidupan masyarakat tradisional di pedesaan.[3]

Terakhir, kembali dengan mengutif konsep berkaryanya Suja menegaskan; “kehadiran plastik dalam karya saya merupakan penanda atau bisa juga di baca sebagai metaphor dari  budaya konsumerisme yang sedang saya atau mungkin juga anda rayakan bersama-sama sebagai identitas baru yang dianggap simbol “kemewahan” dalam gaya hidup”[4].

Bandung oktober-November 2008
I Wayan Seriyoga Parta










[1] Kebijakan ini merupakan upaya transformasi Taxu yang pernah distigmakan realis sosialis Bali, karena dalam beberapa projectnya, kerap menampilkan secara kritis persoalan sosial budaya Bali. Th 2004 atas undangan Rumah Seni Cemeti Yogyakarta, Klinik Seni Taxu membuat project penggalian sejarah 1965 di Bali yang diberi judul “Memasak dan Sejarah”.
[2] Baca Suwarno Wisetrotomo dalam Katalog Pameran tunggal I Wayan Suja “Plush-tick” 2007 Komaneka Fine Art Gallery Ubud.
[3] Konsep berkarya I Wayan Suja
[4] Ibid



Tidak ada komentar:

Posting Komentar